Photo by Max Okhrimenko on Unsplash

By: Nadira Asrifa, Akhmad Hanan

Sejak Juli 2023 lalu, indeks kualitas udara harian Jakarta berdasarkan situs pemantau IQAir nyaris selalu bertengger di predikat Tidak Sehat.

Paparan PM2,5–partikel debu yang berkorelasi dengan berbagai masalah pernapasan dan kematian dini–di Jakarta mencapai 16,7 kali lipat dari standar aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Presiden Joko Widodo juga disebut-sebut mengalami batuk berkepanjangan, diduga akibat kualitas udara yang buruk.

Presiden sebenarnya telah memerintahkan kabinetnya menangani polusi udara dengan beberapa langkah, seperti kebijakan work from home atau WFH (bekerja dari rumah), rekayasa cuaca, dan lain-lain. Namun, efektivitas langkah-langkah tersebut masih diragukan sejumlah kalangan.

Pemerintah Indonesia semestinya dapat belajar dari penanganan polusi udara oleh Pemerintah Beijing di Cina, yang jor-joran mengendalikan polusi udara di kawasan tersebut. Hasilnya, selama 2013-2017, studi menyatakan bahwa Beijing, melalui kebijakan Rencana Aksi Udara Bersih (Clean Air Action Plan), mampu mengurangi 39% emisi dalam waktu lima tahun.

Lantas, apa saja aksi penanganan polusi udara di Beijing yang dapat ditiru oleh Indonesia?

1. Penutupan PLTU

Dalam mengatasi polusi udara, pemerintah Beijing menyasar sektor energi atau pembangkit listrik sebagai sektor yang menghasilkan gas buang karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SOx), nitrogen oksida (NOx), dan partikel-partikel debu seperti PM10 ataupun PM2,5.

Selama lima tahun, pemerintah Beijing menutup empat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dan penggantian 24 ribu ketel uap berbahan bakar batu bara dengan energi yang lebih bersih. Otoritas juga melarang penggunaan batu bara untuk pemanas dan memasak bagi 874 ribu rumah tangga.

Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Jabodetabek dapat meniru langkah tersebut. Pasalnya, setidaknya terdapat 16 PLTU dalam radius 100 km dari wilayah Jakarta. Belasan pembangkit tersebut diduga menjadi salah satu biang masalah pencemaran udara di Jabodetabek.

2. Penghapusan dan pembatasan kendaraan

Aksi udara bersih Beijing turut menyasar sektor transportasi. Caranya dengan menghilangkan 2,1 juta kendaraan berpolusi tinggi di jalan dan menggantinya ke kendaraan berbasis listrik (Electric Vehicle/EV). Beijing juga mewajibkan pemasangan alat penyaring gas buang bagi 7.600 kendaraan berat.

Langkah lainnya adalah pembatasan kendaraan pribadi baru di angka 150 ribu unit pada 2017. Pembatasan kian ketat pada tahun-tahun berikutnya, hingga mencapai 30 ribu–khusus kendaraan berbahan bakar minyak–pada 2022.

Sementara itu, penanganan emisi kendaraan di Ibu Kota masih berkutat pada pembatasan mobilitas. Misalnya, rencana pemerintah Jakarta menerapkan aturan jalan berbayar yang terus molor sejak sepuluh tahun silam. Ada juga wacana pelaksanaan 4 in 1 atau kewajiban mobil yang melintas diisi empat penumpang.

Di wilayah DKI Jakarta, ada lebih dari 26 juta kendaraan bermotor pada 2022. Angka ini meningkat 4,39% dibanding tahun sebelumnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2022, jumlah sepeda motor sebanyak 17,3 juta dan mendominasi dibanding jumlah jenis kendaraan lainnya.

Pemerintah sebenarnya menggenjot penjualan kendaraan listrik melalui program subsidi. Namun, program ini masih berjalan lambat dan jauh dari target.

3. Pemangkasan emisi sektor industri

Data Pemerintah Jakarta tahun 2020 menyebutkan industri manufaktur (pengolahan barang) melepaskan emisi SOx sebesar 2.637 ton per tahun–setara 61,9% dari total emisi SOx.

Emisi sektor ini kebanyakan berasal dari sisa pembakaran minyak dan gas bumi maupun batubara.

Keberadaan sektor manufaktur tumbuh pesat di wilayah DKI Jakarta, maupun di wilayah tetangga seperti Jawa Barat dan Banten.

Pemerintah harus memperketat emisi dari sektor industri. Saat ini, sektor industri manufaktur tidak memiliki standar minimum performa energi sehingga mereka bisa beroperasi dengan beraneka bahan bakar dan mesin tanpa pengawasan yang memadai. Pemerintah juga tidak memiliki aturan batasan emisi yang dapat memaksa pelaku industri mengubah cara operasinya menjadi lebih ramah lingkungan.

Soal ini, Beijing jauh lebih unggul. Guna menangani polusi udara, otoritas setempat mengakhiri dua ribu industri berskala besar yang mencemari udara. Pemerintah turut mengalihkan proses operasi 10,6 ribu unit usaha untuk menjadi lebih bersih.

Langkah lainnya, pemerintah Cina mengurangi produksi semen 6,5 juta ton dalam lima tahun. Otoritas juga memangkas emisi dari pemakaian bahan kimia organik terutama dari sektor farmasi, pestisida, dan peralatan industri.

Beijing juga tak main-main dalam memberi sanksi pencemaran udara. Pemerintah setidaknya sudah mengenakan denda hingga US$28 juta atau Rp429 miliar pada 2015 bagi industri pelanggar batas atas pencemaran udara.

Langkah ke depan

Pemerintah pusat maupun Jabodetabek harus lebih serius mengatasi polusi udara yang dapat mengakibatkan banyak masalah kesehatan fisik bahkan mental. Setiap langkah penanganan pencemaran haruslah efektif yang menyasar hulu (dari sumber-sumber pencemar) hingga ke hilir (masalah akibat pencemaran).

Kesadaran masyarakat terhadap risiko pencemaran udara juga harus ditingkatkan. Harapannya, sumber polusi di tingkat rumah tangga seperti pemakaian kendaraan pribadi ataupun pembakaran sampah juga bisa diredam.

The opinion has been published on The Conversation.
Check the original article by clicking on this text.

Previous articleWhy Should GESI Issues Be Included in Energy Policy?
Next articleBelt and Road: Risks or Opportunities for Energy Transition in Southeast Asia?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here