Gambar 1. Massita Ayu Cindy (Peneliti PYC) menjawab pertanyaan saat Pembukaan UKM Inovasi Energi Universitas Pertamina.
Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) berbahagia menjadi bagian dari acara Grand Opening UKM Inovasi Energi. Acara tersebut diselenggarakan di Universitas Pertamina pada tanggal 7 Februari 2019 dan dihadiri oleh para mahasiswa dan dosen. Dua organisasi energi terdepan di Indonesia, PYC dan ICare, diundang untuk berbagi perspektif mengenai inovasi pada sektor energi. PYC diwakili oleh Ibu Massita Ayu Cindy sebagai asisten peneliti dan ICare mendelegasikan Bapak Adli Renhoren untuk mengenalkan program mereka kepada mahasiswa Universitas Pertamina. Ibu Massita menjelaskan seberapa signifikan inovasi dapat berdampak pada pertumbuhan produksi di sebuah negara menggunakan Model Solow. Dalam Model Solow, terdapat empat faktor yang membentuk pertumbuhan produksi yaitu modal (K), tenaga kerja (L), pendidikan (e) dan ide (A). Sebagian besar faktor-faktor tersebut (e, L, K) akan mengalami diminishing return pada titik tertentu saat penambahan faktor produksi tidak lagi meningkatkan pertumbuhan produksi, bahkan mengurangi profit. Ide (A) adalah satu-satunya faktor yang tidak terpengaruhi oleh diminishing return, juga satu-satunya alat untuk meningkatkan pertumbuhan produksi tanpa batasan apapun. Teori Model Solow dapat juga diaplikasikan dalam sektor energi pada saat ide (inovasi teknologi) telah meningkatkan baik kuantitas dan kualitas dari energi yang ada saat ini.
Perkembangan inovasi energi dapat digambarkan dengan sejarah perkembangan sektor energi sebagaimana dipaparkan oleh Ibu Massita. Di Indonesia, sejarah perkembangan sektor energi dapat dibagi menjadi 4 era: (1) Era Orde Baru (1970-an), (2) Era Bakoren (1980-an), (3) Era Transisi (1990-an), dan yang terakhir adalah (4) Era Reformasi (2000-an). Era orde baru ditandai dengan besarnya skala produksi minyak yang mencapai 1,6 juta barel per hari, yang bertujuan untuk membantu Indonesia agar pulih dari krisis ekonomi. Disamping produksi minyak bumi berskala besar, pemerintah juga memberikan subsidi harga pada tujuh jenis bahan bakar, yaitu avtur, avgas, bahan bakar minyak, premium, diesel, solar, dan minyak tanah. Di masa inilah permasalahan energi nasional mulai berkaitan dengan masalah sosial politik. Eksploitasi minyak berskala besar ini telah sukses membawa stabilitas perekonomian negara yang disertai tren positif fiskal dan moneter. Minyak bumi menjadi komoditas ekspor utama negara pada Era Bakoren, dimana lebih dari 80 persen pendapatan ekspor nasional berasal minyak bumi. Setelah itu, Dutch Disease pertama terjadi dan mendorong pemerintah untuk mulai merencanakan diversifikasi melalui Bakoren (Badan Koordinasi Energi Nasional). Di era 1990-an, pertumbuhan ekonomi sangat berkembang dan diikuti oleh lonjakan permintaan listrik. Neraca keuangan off government mulai diberlakukan oleh pemerintah untuk membantu PLN memperbanyak pembangkit listrik demi memenuhi permintaan. Neraca keuangan off government berarti bahwa pemerintah akan mengizinkan Independent Power Producer (IPP) untuk membangun pembangkit listrik, sementara pemerintah akan menjamin pembelian listrik oleh PLN dalam jangka waktu tertentu. Pada tahun 1997-1998, krisis ekonomi dan Dutch Disease merebak lagi dan berakibat pembatalan seluruh proyek energi. Setelah itu, pemerintah mulai menerbitkan sejumlah aturan baru pada sektor energi dan merestrukturisasi institusi-institusi terkait sebagai bagian dari desakan pemerintah untuk memulihkan stabilitas nasional.
Energi baru dan terbarukan (New and renewable energy/NRE) telah diimplementasikan di Indonesia selama lebih dari 50 tahun. Proyek energi terbarukan pertama adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air Jatiluhur pada tahun 1957 dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang pada tahun 1978. Hari ini, berbagai macam NRE telah diberlakukan dan tersebar di penjuru negeri baik dalam skala kecil maupun besar. Pencapaian yang terbaru adalah pembangkit listrik tenaga angin terbesar se-Asia Tenggara yang berlokasi di Sidrap, Sulawesi Selatan. Berbeda dengan energi terbarukan, perkembangan energi baru seperti pembangkit tenaga nuklir, gas serpih, dan coal bed methane di Indonesia terhambat disebabkan masalah ekonomi dan penerimaan. Pada tahun 2017, persentase NRE dalam bauran energi hanya mencapai 6 persen, sementara pemerintah menargetkan untuk meningkatkan persentase hingga 23 persen di tahun 2025. Di sisi lain, persentase minyak bumi pada bauran energi tahun 2017 mencapai 42 persen dan pada tahun 2025, angka ini sebaiknya turun menjadi hanya 25 persen. Prediksi lain mengenai masa depan sektor energi adalah bergesernya paradigma dari sisi penawaran (supply side) menuju sisi permintaan (demand side). Masyarakat dahulu berfokus kepada bagaimana menjamin pasokan energi untuk memenuhi permintaan. Akan tetapi, hal ini mulai berubah saat masyarakat menyadari pentingnya meningkatkan kesadaran akan konservasi dan diversifikasi energi. Tantangan dan peluang akan selalu ada, namun yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memberikan gagasan dan inovasi yang tepat dan didukung oleh good governance yang akan memperkuat masa depan sektor energi Indonesia.