Gambar 1. Prof. Subroto melakukan foto bersama dengan Kania Sutisnawinata, Budi Gunawan Sadikin, Mahendra Siregar, Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Rudy Sayoga.

PT Indonesia Asahan Aluminum (Inalum) sebagai perusahaan holding badan usaha milik negara (BUMN) mendirikan Mining and Mineral Industry Institute (MMII). MMII bertujuan untuk menjadi pusat penelitian industri pertambangan hilir dan membantu pemerintah untuk mencapai target dalam meningkatkan nilai tambah dalam sektor pertambangan. Peluncuran diadakan pada tanggal 1 Februari 2019 di Darmawangsa Hotel Jakarta dan dihadiri oleh berbagai ahli energi dan pertambangan Indonesia. Dalam acara tersebut juga terdapat MoU antara MMII dan lima universitas nasional, terdiri dari Universitas Cendrawasih (UNCEN), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). Ada juga MoU antara MMII dan Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) yang diwakili oleh F.X. Sujiastoto sebagai kepala unit penelitian dan pengembangan.

Prof. Subroto sebagai mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam pidato pembukaannya menegaskan pentingnya kebijakan pengembangan low carbon sebagai alat untuk terbebas dari negara yang berpendapatan menengah. Dalam industri pertambangan, pengembangan harus mulai fokus pada pengembangan industri hilir sehingga hasil nilai produk tambang dapat meningkat. Ibu Ratih Amri sebagai Direktur Eksekutif mengatakan bahwa MMII memiliki mandat dengan tiga misi utama, yaitu (1) mengelola sumber daya dan cadangan nasional melalui eksplorasi kontinu; (2) mempercepat pengembangan industri hilir pertambangan; dan (3) menjadi perusahaan kelas dunia.

Acara ini dilanjutkan dengan sesi panel yang dimoderatori oleh Kania Sutisnawinata sebagai Wakil Kepala Editor Metro TV dan dihadiri empat pembicara, yaitu Budi Gunawan Sadikin yang menjabat sebagai Presiden Direktur Inalum, Mahendra Siregar sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat, Prof. Rudy Sayoga sebagai Profesor dari ITB, dan Rhenald Kasali sebagai pendiri Yayasan Rumah Perubahan. Budi Gunawan Sadikin menyebutkan bahwa di akhir 2018 Inalum sudah menaungi empat perusahaan pertambangan milik negara, yaitu PT Antam, PT Bukit Asam, PT Timah, dan PT Freeport Indonesia. Hal itu membuat 34 persen dari pendapatan grup Inalum berasal dari industri batubara. Untuk menambahkan nilai tambah terhadap produk batu bara mereka, Inalum berencana membangun infrastruktur untuk mengolah hasil batu bara menjadi syngas yang akan diubah menjadi methanol, kemudian menjadi Dimethyl Ether (DME), dan produk turunan lainnya. Dua proyek lain yang direncanakan dibangun tahun ini adalah smelter alumina dan smelter proses pencucian asam bertekanan tinggi (HPAL). Diharapkan bahwa proyek smelter akan memberikan nilai tambah dalam hal harga ekspor dan membantu Indonesia mendirikan pasar produk pertambangan dalam rantai nilai global. Seperti yang dikatakan Mahendra Siregar, saat ini rantai nilai global sudah terganggu karena perang dagang, sehingga perlu untuk mengamankan komoditas ekspor nasional dengan meningkatkan nilai di pasar global.

Perspektif lain dipresentasikan oleh Prof. Rhenald Kasali dan Prof. Rudy Sayoga.  Prof. Rhenald Kasali menceritakan pengalamannya di Pulau Buru ketika terdapat penemuan emas yang secara tiba-tiba memicu inflasi dan banyak efek berganda untuk pulau tersebut. Masyarakat setempat sangat tertarik dengan penemuan emas maka mereka mulai menambang dan meninggalkan hasil panen mereka. Kenaikan pendapatan mendadak dari masyarakat setempat membuat permintaan kebutuhan primer meningkat, sedangkan kuantitas barang konsumsi menurun. Ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan kemudian mengarah pada inflasi lokal di Pulau Buru. Hal ini menjadi contoh pentingnya keterlibatan pemerintah di sektor pertambangan untuk mengatur penambangan dan mengendalikan efek multiplier yang disebabkan oleh industri pertambangan. Ada empat efek berganda ekonomi di industri pertambangan, yaitu (1) keterkaitan kebelakang/Backward Linkage; (2) keterkaitan kedepan/Forward Linkage; (3) keterkaitan kebutuhan/Demand Linkage; and (4) keterkaitan fiskal/Fiscal Linkage. Sementara itu  Prof. Rudy Sayoga menyampaikan keprihatinannya terhadap isu lahan pasca tambang. Perlu bagi perusahaan tambang untuk merencanakan industri pertambangan mereka dengan baik sehingga akan mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pemerintah harus menjamin bahwa tidak akan ada kondisi seperti “kota terbengkalai” di lahan pasca tambang Indonesia.

Berita sebelumyaPeluncuran laporan “Beyond Fossil Fuels: Indonesia’s Fiscal Transition” oleh International Institution for Sustainable Development (IISD)
Artikulli tjetërKajian Institute for Essential Services Reform bertajuk “A Roadmap for Indonesia’s Power Sector: How Renewable Energy Can Power Java-Bali and Sumatra”

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini