Gambar 1. Peserta Socratime Edisi Khusus 2019 di Universitas Katolik Parahyangan
Peneliti Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) diundang sebagai salah satu pembicara pada Socratime Special Edition 2019 “Dirty Clean Energy: The Prospect of Indonesia’s Crude Palm Oil Export Market amidst EU’s Renewable Energy Directives II” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional (HMPSIHI) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Seminar ini dihadiri oleh mahasiswa hubungan internasional UNPAR. Seminar ini bertujuan untuk membahas dampak kebijakan Arah Energi Terbarukan (Renewable Energy Directives/RED) II pada industri minyak sawit Indonesia.
Andika Putraditama, Manajer Bisnis dan Komoditas Berkelanjutan di World Resources Institute (WRI) Indonesia, menjadi pembicara pertama seminar. Bapak Andika Putraditama memulai presentasinya dengan memaparkan secara singkat mengenai WRI dan pergerakannya pada beberapa isu penting, seperti energi, kelautan, dan iklim. Selanjutnya, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya (kosmetik, perawatan pribadi, dan pangan) juga dibahas, termasuk rantai pasokannya dari petani hingga perusahaan barang konsumsi. India merupakan konsumen minyak sawit nomor satu di dunia, diikuti secara berurutan oleh Tiongkok, Uni Eropa, Indonesia. Kendati pengaruh industri minyak sawit terhadap lingkungan, sawit masih menjadi tanaman yang paling efektif untuk menghasilkan minyak karena pohon ini memerlukan area lahan yang lebih sedikit dan dapat menghasilkan panen yang lebih tinggi dibanding tanaman lainnya. Andika Putraditama juga memperkenalkan konsep POTICO untuk memanfaatkan lahan terdegradasi untuk penanaman. Akan tetapi, ide ini memiliki kelemahan berupa kemungkinan adanya masalah perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ILUC). Andika Putraditama menyimpulkan sesinya dengan menyoroti perbedaan sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), dimana RSPO bersifat sukarela sedangkan ISPO wajib.
Akhmad Hanan, pembicara kedua, menjelaskan kondisi industri minyak sawit di Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Akhmad menyebutkan secara singkat aturan (Permentan No.11/ot.140/3 tahun 2015) yang digunakan pada industri minyak sawit dan sertifikasi keberlanjutan (ISPO) di Indonesia. Selain itu, Akhmad juga menyajikan neraca perdagangan Indonesia yang menunjukkan bahwa CPO adalah komoditas ekspor tertinggi kedua (USD 20,54 Miliar) setelah batu bara di tahun 2018. Pada tahun 2018, ekspor CPO dan turunannya meningkat sebanyak 8% (32,18 juta ton) dari 2017 menjadi 34,71 juta ton. Akhmad juga menyebutkan bahwa kebijakan RED II dapat menyebabkan jutaan orang yang bekerja di industri minyak sawit kehilangan pekerjaannya dan mengurangi pendapatan nasional.
Gambar 2. Sebuah tandamata apresiasi diberikan oleh perwakilan UNPAR kepada Bapak Akhmad Hanan dari PYC
Pembicara terakhir, Rosmawati Siregar yang bekerja sebagai diplomat junior di Kementerian Luar Negeri menjelaskan RED II dari sudut pandang Uni Eropa. Rosmawati Siregar menyoroti isu nutrisi dan kesehatan, isu sosial, kampanye negatif, dan keberlanjutan lingkungan yang berkaitan dengan perdagangan minyak sawit. Sebagai contoh, Badan Keamanan Pangan Eropa/European Food Safety Agency (EFSA) menyebutkan bahwa minyak sawit bersifat karsinogenik. Rosmawati Siregar juga membahas kampanye penggunaan label “tanpa minyak sawit” dimana produk dengan label demikian tidak berarti lebih sehat dan lebih aman dibanding produk yang menggunakan minyak sawit. RED II tidak berarti penetapan pelarangan impor minyak sawit. Dari sisi sudut pandang Indonesia, beberapa kebijakan dan perumusan Uni Eropa membutuhkan lebih banyak justifikasi. Sebagai contoh, landasan mengapa ILUC digunakan sebagai kriteria utama aspek keberlanjutan produksi minyak sawit sedangkan masih ada ukuran kriteria yang lain. Terlebih, ILUC tidak diakui secara internasional dan evaluasinya bisa berbeda tergantung pada model yang digunakan. Rosmawati Siregar juga memberikan pandangan yang menarik tentang bagaimana RED II mempengaruhi diplomasi Indonesia dengan negara lain pada tingkat bilateral dan regional. Sebagai contoh, pada tingkat regional, Kerjasama strategis ASEAN-Uni Eropa untuk sementara ini ditunda. Saat ini, Indonesia memberikan yang terbaik melalui beragam usaha seperti negosiasi dan diplomasi untuk memitigasi dampak potensial kebijakan RED II sembari meningkatkan kualitas ISPO bersamaan dengan meningkatkan penerimaannya pada tingkat internasional.
Pada akhir acara, terdapat diskusi singkat antara pembicara dan audiens mengenai konflik horizontal, masalah transparansi, dan biodiversitas (contoh orangutan) terkait ekspansi industri minyak sawit.