Gambar 1. Pandu Patria Sjahrir (Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia) dan Prof. Irwandy Arif memaparkan pandangan mereka mengenai perkembangan industri batu bara.
Batu bara adalah salah satu komoditas yang mempengaruhi penerimaan negara bukan pajak Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen mengurangi emisi karbon dengan menandatangani Persetujuan Paris tahun 2016. Dengan demikian, perkembangan industri batu bara di Indonesia menjadi sebuah topik yang menarik untuk didiskusikan. Pada tanggal 29 Maret 2019, Forum Guru Besar Institut Teknologi Bandung menyelenggarakan diskusi perkembangan batu bara Indonesia di Bandung. Forum ini mengundang Prof. Irwandy Arif (Dosen) dan Pandu Patria Sjahrir (Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia) untuk berbagi pemikiran.
Pada sesi pertama, Prof. Irwandy Arif menyebutkan bahwa cadangan batu bara Indonesia mencapai sekitar 37 miliar ton. Akan tetapi, pada tingkat korporat, hanya sedikit perusahaan yang memiliki cadangan yang besar. Mayoritas komoditas ini dialokasikan untuk pasar domestik (70%), khususnya untuk pembangkit listrik, dan sisanya diekspor ke luar negeri. Seiring dengan berkembangnya industri, muncul beberapa masalah yang berujung pada lingkungan politik yang tidak stabil dan isu-isu sosial. Masalah-masalah ini harus dipecahkan oleh pemerintah dan dunia usaha guna mencapai stabilitas. Di masa mendatang, permintaan batu bara akan tetap berada di puncak sebagai akibat perkembangan pembangkit listrik tenaga uap di 25 negara yang kebanyakan berada di Asia. Pengembangan “batu bara bersih” dengan carbon capture and storage (penangkapan dan penyimpanan karbon) dan carbon capture, utilization and storage (penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon) berikut dimetil eter (DME) di Indonesia juga menjadi penting karena teknologi tersebut meningkatkan nilai tambah batu bara dan membantu mengurangi emisi karbon.
Di sesi kedua, Pandu Patria Sjahrir menyebutkan bahwa konsumsi listrik per kapita Indonesia (0,8 MWh/kapita) lebih rendah daripada di Thailand (2,5 MWh/kapita) dan Vietnam (1,4 MWh/kapita), walaupun infrastruktur dan keadaan ekonomi di antara negara-negara ini tidak berbeda jauh. Investasi batu bara menawarkan solusi yang lebih baik atas kurangnya konsumsi yang dibutuhkan dan dapat dikembangkan. Sehubungan dengan perkembangan industri batu bara di Indonesia, Pandu menyoroti harga tertinggi batu bara kalori rendah (yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik) yang jauh lebih rendah daripada harga pasar. Karenanya, negara-negara lain yang tertarik pada batu bara kita menahan diri dari membeli hingga harganya setara dengan harga lokal Indonesia.
Terlebih lagi, industri batu bara dibayang-bayangi oleh peraturan untuk mengamankan pasokan domestik sebesar 25% produksi batu bara. Syarat ini menjadi masalah bagi sejumlah penambang batu bara tertentu yang produknya tidak sesuai dengan kebutuhan domestik. Akibatnya, beberapa penambang batu bara membeli kredit DMO dari penambang batu bara lain yang telah melebihi pemenuhan DMO mereka. Meskipun demikian, karena penyerapan pasar domestik yang sebenarnya hanya 95% dari target awal, sanksi akan tetap diberlakukan.