Gambar 1. (Arah jarum jam dari kiri atas) Moderator Alexander Wibowo bersama narasumber webinar Muhammad Lutfi, Andi Widjajanto, dan Moeldoko
Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) mengadakan serangkaian acara seminar daring (webinar) di bulan ini untuk memperingati ulang tahun yang ke-4. Acara kali ini merupakan webinar kedua yang dilakukan oleh PYC dan disiarkan langsung melalui saluran YouTube resmi PYC pada tanggal 20 Juni 2020, pukul 13.00-15.00 WIB. Tema yang diambil adalah “Geopolitik Energi di Laut Cina Selatan: Kekuatan Diplomasi” dan diisi oleh tiga narasumber, yaitu Jenderal TNI (Purn.) Dr. Moeldoko (Panglima TNI 2013-2014 dan Wakil Gubernur Lemhannas 2011-2013), Muhammad Lutfi (Menteri Perdagangan 2014 dan Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Mikronesia 2010-2013), dan Andi Widjajanto, Ph.D (dosen Universitas Indonesia dan Sekretaris Kabinet 2014-2015). Diskusi ini dipandu oleh Alexander Wibowo, S.J.D (Dewan Pengawas PYC dan dosen Universitas Pelita Harapan).
Kegiatan webinar ini diawali dengan pengumuman para pemenang lomba PYC 4th Anniversary Paper Competition 2020 dan pengenalan tampilan situs PYC terbaru (dapat diakeses melalui https://www.purnomoyusgiantorocenter.org) oleh Chairperson PYC, Filda Citra Yusgiantoro, Ph.D. Webinar kemudian resmi dibuka oleh Prof. Purnomo Yusgiantoro, Ph.D (Pendiri PYC dan Pionir Universitas Pertahanan Indonesia) dengan penjelasan awal tentang situasi geopolitik di Laut China Selatan saat ini.
Moeldoko mengawali diskusi webinar dengan menekankan bahwa pandangannya didasari pengalaman dan pengetahuannya sebagai mantan Panglima TNI, bukan sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) saat ini. Moeldoko memaparkan rekonstruksi sejarah perang dunia kedua yang dapat dihubungkan dengan kondisi konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan. Diskusi selanjutnya dilakukan oleh Muhammad Lutfi yang mengatakan bahwa Indonesia dapat memiliki nilai tambah tersendiri dengan politik bebas aktif yang memanfaatkan peran diplomasi terhadap Amerika dan Tiongkok. Indonesia bisa tetap netral dengan mengedepankan dialog dan keterbukaan. Posisi Indonesia menjadi center of gravity karena tidak memilih salah satu konsep open and free Indo Pacific dari Amerika ataupun Belt Road Initiative dari Tiongkok. Diskusi terakhir disampaikan dengan paparan Andi Widjajanto yang menjelaskan kondisi di Laut Cina Selatan dapat dilihat dari tiga variabel, yaitu: (1) modernisasi persenjataan; (2) keamanan energi; dan (3) transisi hegemoni.
Di akhir webinar, Alexander Wibowo menyimpulkan pandangan ketiga narasumber dan peran sentral Indonesia di konflik Laut Cina Selatan. Indonesia memiliki posisi yang strategis karena Amerika Serikat maupun Tiongkok sangat membutuhkan peran Indonesia. Indonesia dapat mengambil keuntungan dari kedua negara tersebut dengan mendorong investasi melalui pendekatan diplomasi, khususnya diplomasi energi dalam rangka menjaga keamanan dan ketahanan energi Indonesia di wilayah terdepan dan terluar yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan.