Gambar 1 Sesi Panel Diskusi Kelompok Terfokus PYC-ERIA Kedua menawarkan perspektif luas dalam hal energi pada industri manufaktur dari para pembicara

Pada tanggal 31 Oktober 2018, Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) dan Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menggelar Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terfokus kedua mengenai masalah energi di sektor industri manufaktur. Fokus dari diskusi kali ini adalah untuk mengkaji ulang beberapa kebijakan terkait industri manufaktur, terutama mengenai persediaan ketenagalistrikan dan gas alam. Tujuan dari diskusi adalah untuk memperkenalkan rekomendasi kebijakan untuk masalah energi pada industri manufaktur.

Diskusi dipimpin oleh Bapak Luluk Sumiarso sebagai moderator, mencakup pengkajian ulang berbagai penerapan kebijakan, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Diskusi tersebut juga membahas implikasi hukum dari kebijakan yang diajukan, apakah berdasarkan konstitusi, kebijakan tersebut berlawanan dengan peraturan-peraturan lain yang ada. Selain itu, dilakukan juga penilaian dampak dari segi fiskal dan keuangan dari kebijakan yang diajukan, dan jika ada, memerlukan perubahan institusi untuk memastikan koordinasi yang mudah dan berjalan mulus. Hal yang terakhir dibahas adalah strategi penanganan implikasi yang penting sehingga kebijakan yang diajukan dapat dengan sukses diterapkan.

Acara tersebut diawali dengan presentasi PYC yang menggambarkan masalah ketenagalistrikan dan gas alam dan kebijakan di sektor industri manufaktur. Dalam presentasi tersebut juga diperkenalkan beberapa kebijakan alternatif yang diterapkan di negara-negara lain. Acara kemudian dilanjutkan dengan berbagi wawasan di antara pakar-pakar dalam bidang terkait. Bapak Rahmat Sudibyo, mantan Direktur Jendral Minyak dan Gas – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengangkat isu terbaru perusahaan induk minyak dan gas sebagai solusi dari terhambatnya perkembangan infrastruktur gas. Ia menggaris bawahi bahwa tingginya harga gas alam dapat dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu harga gas upstream dan harga gas downstream. Ia mempromosikan penurunan pajak sebagai salah satu langkah untuk menurunkan harga gas upstream dengan menurunkan biaya kontraktor. Penurunan pajak, terutama untuk skema pembagian kotor, telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 53/2017. Di akhir presentasi, ia menggambarkan perbedaan skema transportasi gas antara wilayah Indonesia bagian barat dan timur. Di wilayah barat, konsep pipeline (jaringan pipa) terintegrasi merupakan sistem utama dengan sistem pipeline virtual yang menggunakan LNG mini atau sistem CNG mini sebagai penunjang. Sementara itu, konsep pipeline virtual lebih diutamakan sebagai basis di wilayah timur yang menggunakan skema kelompok lokal (locally clustered) sebagai penunjang.

Berbicara dari segi aspek ketenagalistrikan, Bapak Jarman Sudimo, Mantan Direktur Jendral Ketenagalistrikan – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berdalih bahwa perhatian utama dalam industri ini adalah harga listrik yang kompetitif yang akan mempengaruhi keputusan investasi industri. Ia menambahkan bahwa harga listrik yang rendah akan menarik investasi. Ia juga menjelaskan bahwa Malaysia merupakan contoh yang baik dalam memisahkan operator sistem dengan perusahaan listrik negara. Operator sistem di Malaysia sekarang berada di bawah Komisi Energi Suruhanjaya yang mengatur operasi harian. Sebaliknya, Penyaluran dan Pusat Pengaturan Beban (P3B) operator sistem di Indonesia, berada di bawah PT PLN, perusahaan listrik negara. Hal ini berpotensi menyebabkan masalah konflik antar kepentingan. Ia juga berdalih bahwa masalah ini dapat dihindari dengan menempatkan P3B di bawah pengatur yang berbeda, di luar PT PLN. Strategi tersebut bisa mengakomodasi kelebihan daya yang lebih murah dari generator swasta dan penggunaan yang lebih luas dari kogenerasi industri. Ia mendesak agar perhitungan tarif “Power Wheeling” segera diselesaikan sehingga akan menghasilkan industri yang ramah lingkungan.

Dari perspektif industri, Bapak Rauf Purnama, Kepala Komite Industri Kimia – Kamar Dagang dan Industri (Kadin), menjelaskan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan industri energi sebab pertumbuhan ekonomi negara tergantung pada pertumbuhan industri. Pertumbuhan sektor industri menghasilkan pendapatan dan devisa serta menyediakan lapangan pekerjaan. Dalam sektor industri, fokus utama dari persediaan energi adalah industri menengah dan industri downstream, terutama dalam hal ketenagalistrikan. Sementara itu, industri upstream mampu membangun pembangkit listrik sendiri karena memiliki skala investasi yang sangat besar. Selain itu, ia menitikberatkan bahwa energi bersih harus dikedepankan dalam membangun masa depan energi Indonesia. Penerapan dari teknologi siklus gabungan gasifikasi terpadu, atau Integration Gasification Combined Cycle (IGCC), dan Dimethyl Ether (DME) perlu didorong. Ia menambahkan bahwa teknologi IGCC dapat menurunkan kandungan belerang (sulfur) dari batu bara yang menghasilkan produk yang lebih bersih. Indonesia memiliki sumber batu bara yang berlimpah sehingga pemanfaatannya dengan menggunakan sistem gasifikasi dapat menghasilkan produk yang lebih bersih. Di akhir presentasi, ia menggarisbawahi pemanfaatan bersih harus diterapkan secara luas di semua sumber energi, termasuk batu bara, minyak dan gas.

Berita sebelumyaWorkshop SKK Migas dan FGD “Pendistribusian dan Penggunaan LNG Mini”
Artikulli tjetërIndonesian Energy Economics Forum 2018: The Role of Energy and Mining in Achieving Indonesia Prosperous Based on Pancasila

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini