Gambar 1 Sesi Diskusi Workshop“Pendistribusian dan Penggunaan LNG Mini”
Pembangunan infrastruktur gas alam di Indonesia berjalan lambat dan tidak merata. Hal ini berimbas terhadap lambatnya perkembangan pasar. Saat ini, pengguna akhir utama gas alam di Indonesia adalah sektor manufaktur dan pabrik pembangkit listrik, sementara sektor lain, contohnya sektor komersial, sangat jarang menggunakan gas alam dalam aktivitas sehari-hari. Hal ini diakibatkan oleh stigma yang menyatakan bahwa gas alam hanya bisa digunakan oleh perusahaan tertentu karena terbatasnya akses dan distribusi infrastruktur. Dalam menanggapi masalah ini, SKK Migas sebagai perwakilan pemerintah memutuskan untuk mendorong pengembangan LNG mini di Indonesia sebagai solusi alternatif karena infrastruktur gas alam yang penting seperti jaringan pipa (pipeline), kilang minyak LNG dan pabrik regasifikasi memerlukan modal yang jauh lebih besar dan hanya mencakup area tertentu. Workshop dan FGD tersebut diselenggarakan pada tanggal 1 November 2018. Acara ini dihadiri oleh peserta yang datang dari beragam latar belakang, seperti wiraswasta dan pihak terkait lainnya. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan LNG mini dan prospek pemasarannya di Indonesia. Pembukaan acara dilakukan oleh Ketua SKK Migas, Bapak Amien Sunaryadi. Ia menggarisbawahi pentingnya memaksimalkan sumber daya gas alam untuk keperluan domestik. Pada tahun 2018, pada saat harga minyak mencapai USD 100 per barel, pasar domestik memiliki kecenderungan untuk beralih dari menggunakan minyak menjadi menggunakan gas alam. Diketahui bahwa 60 persen dari gas alam kita saat ini digunakan oleh pasar domestik dan 90 persennya digunakan untuk pembangkit listrik. Selain adanya peningkatan permintaan gas alam, masalah lain yang dihadapi adalah proses pendistribusian LNG dari kilang LNG utama seperti Bontang, Donggi-Senoro, dan Tangguh ke lokasi pengguna LNG terbesar di pulau Jawa dan Sumatra. Ia mengharapkan bahwa acara ini dapat mempersatukan industri upstream dan downstream dan menciptakan peluang bisnis untuk mengembangkan LNG mini bersama. Proyek LNG mini ini bertujuan untuk mencapai skala bisnis yang lebih kecil sehingga penggunaan gas alam untuk keperluan domestik bisa diperluas dengan cepat dan bisa didistribusikan di pasaran secara lebih merata.
Sesi diskusi dipimpin oleh Bapak Sapto Rahardjo sebagai moderator dan delapan pembicara yang diundang memiliki latar belakang yang beragam, diantaranya adalah Ibu Chairani Rachmatullah, Kepala Divisi Gas dan Bahan Bakar PT PLN; empat perwakilan industri gas dari perusahaan yang berbeda, yaitu Enersindo Heksa Karya, PT Dharma Pratama Sejati, Prajamita Internusa, dan PT Laras Energi; serta Hotel Hilton Bandung sebagai perwakilan pengguna akhir gas alam untuk tujuan komersil. Ibu Chairani berpendapat bahwa meskipun tarif listrik di Indonesia di sektor industri lebih tinggi daripada di Malaysia, tarif listrik di sektor rumah tangga di Indonesia masih lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh prioritas yang diterapkan PT PLN yang selalu mengedepankan pembangkit listrik yang termurah seperti batu bara untuk menghasilkan listrik, daripada gas alam. Kecenderungan ini diperkirakan masih akan berlangsung selama kurun waktu 20 tahun ke depan. Sebagai contoh, Pembangkit Listrik Tenaga Gas Muara Tawar (PLTG Muara Tawar) hanya dapat digunakan pada jam sibuk dikarenakan tersedianya pembangkit listrik tenaga batu bara baru dengan harga yang jauh lebih murah. Salah satu keuntungan dari pembangkit listrik tenaga gas adalah pembangunan yang lebih cepat dan mudah daripada pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, kurangnya infrastruktur gas menyebabkan distribusi gas alam ke pembangkit listrik menjadi lebih sulit sehingga beberapa pembangkit listrik tenaga gas terpaksa menggunakan bahan bakar lain seperti high-speed diesel (HSD) atau diesel berkecepatan tinggi. Ia berharap pengembangan LNG mini dapat membantu menurunkan harga gas dan memfasilitasi distribusi gas.
Keempat perusahaan gas yang diundang juga turut mempresentasikan profil dan program perusahaan serta berbagi pengalaman. Meskipun bisnis LNG memiliki resiko dan tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi, sebagian besar perusahaan percaya bahwa di masa depan gas alam akan menjadi lebih penting dan tingkat permintaannya akan meningkat. Saat ini masih dikatakan sebagai masa transisi dari bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan. Gas alam merupakan jembatan penghubung antara bahan bakar fosil dan energi terbarukan, sehingga ini adalah waktu yang tepat untuk memulai bisnis gas alam. Berdasarkan perspektif dari pengguna akhir gas alam, Hotel Hilton Bandung berjuang untuk menyebarkan keuntungan bagi lingkungan dalam mencapai tagline “Travel with Purpose”. Salah satu dari program yang dicanangkan adalah untuk beralih dari LPG menjadi LNG dan mengurangi emisi karbon yang saat ini tercatat sebesar 46 ton per tahun. Program tersebut direncanakan untuk diterapkan di setiap hotel Hilton di Indonesia.
Dari hasil diskusi di atas, dapat dilihat dengan jelas baik industri gas maupun sektor konsumen merasa antusias dan tertarik dengan pengembangan sektor gas alam. Namun, beberapa masalah seperti keberlanjutan persediaan dan harga harus direncanakan dengan baik dan dilakukan oleh pemerintah. Pengembangan LNG mini dapat menjadi solusi alternatif, stapi harus dilakukan sejalan dengan rencana pembangunan pipeline untuk mengurangi resiko bisnis dan tingkat ketidakpastian.