Gambar 1 Diskusi mengenai Sumber Daya Energi Terbarukan di perairan Indonesia bersama Prof. Purnomo Yusgiantoro

Pada 7 April 2018, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyelenggarakan Grand Seminar OCEANO 2018 dengan tema, “Pembangunan Berkelanjutan untuk Perairan Indonesia” di Surabaya. Seminar ini dipandu oleh Bapak Agro Wisudawan (ITS) dan mengundang panel ahli yang terdiri dari Prof. Hikmahanto Juwana (Profesor bidang Hukum Internasional Universitas Indonesia); Bapak Sutrisno (Direktur Rekayasa Umum dan Pemeliharaan Perbaikan PT. PAL Indonesia (Persero)); dan Prof. Purnomo Yusgiantoro (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (2004-2009) dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia (2009-2014)). Seminar ini bertujuan untuk memberikan wawasan maritim tidak hanya kepada mahasiswa, tetapi juga untuk masyarakat dan pelaku profesi.

Pembicara pertama, Prof. Hikmahanto Juwana membahas masalah-masalah penting dalam kebijakan pemerintah terkait pembangunan perairan Indonesia. Ia menyampaikan tiga tonggak pencapaian Indonesia sebagai negara kepulauan dan diikuti dengan penjelasan mengenai empat hambatan dalam proses meraih tonggak pencapaian ketiga. Di sesi kedua, terdapat diskusi perihal pembangunan infrastruktur kelautan bersama Bapak Sutrisno. Ia menekankan bahwa pembangunan infrastruktur kelautan di Indonesia membutuhkan perhatian besar dari pemerintah. 

Sementara itu, pembicara terakhir, Prof. Purnomo Yusgiantoro membahas potensi sumber daya energi terbarukan di perairan Indonesia. Ia mengawali dengan penjelasan mengenai teori energi laut sebagai energi terbarukan dan ringkasan penerapan energi laut di ranah internasional. Dalam penjelasannya, terdapat enam jenis energi laut: (1) energi gelombang; (2) energi pasang surut maksimum; (3) energi arus laut; (4) energi panas laut (OTEC); (5) energi bahan bakar nabati rumput laut (Gracilaria & Aucheumacotonii); dan (6) energi garam. Namun, berdasarkan pengalaman internasional saat ini, hanya energi gelombang dan energi pasang surut/energi arus laut yang telah berhasil dikembangkan. Dua tipe energi laut ini telah mencapai skala ekonomi, sementara yang lainnya dipertimbangkan sebagai proyek percontohan. Meskipun energi laut memerlukan biaya tinggi dan output energi yang rendah menyulitkan pencapaian skala ekonomi, beberapa negara telah berhasil mengembangkan energi laut sebagai pembangkit listrik. Di tahun 2018, kapasitas energi laut tertinggi berada di Korea (511 MW), diikuti oleh Perancis (246 MW), Inggris Raya (139 MW), Kanada (40 MW), Belgia (20 MW), Tiongkok (12 MW), dan Swedia (11 MW).

Di Indonesia, terdapat potensi tinggi untuk energi laut, khususnya arus, panas, dan gelombang laut. Potensi energi gelombang laut di Indonesia sebagian besar terletak di pesisir barat Sumatera Selatan (70 kW/m), pesisir selatan Jawa Barat (40 kW/m), dan juga sepanjang pesisir selatan Jawa hingga Nusa Tenggara (10-20 kW/m). Potensi energi pasang surut dapat ditemukan di selat dan teluk di Indonesia, seperti Bagansiapiapi, Teluk Palu, Teluk Bima (NTB), Kalimantan Barat, Papua, Pesisir Selatan Jawa, Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Makassar. Lebih jauh lagi, untuk energi panas laut, Kawasan potensial berada di bawah garis ekuator sekitar 6-9 derajat Lintang Selatan dan 104-109 derajat Bujur Timur (20 km dari pantai). Meskipun terdapat beberapa penelitian dan pengembangan energi laut yang telah dilaksanakan, energi laut belum dimasukkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebagai salah satu prioritas utama untuk dikembangkan karena masalah skala ekonomi. Di akhir pidatonya, Prof. Purnomo menyoroti kesempatan dan tantangan dalam pengembangan energi kelautan di Indonesia.

Kesempatan-kesempatan tersebut adalah:

luasnya wilayah lautan di Indonesia; studi pendahuluan yang ada terutama mengenai energi gelombang, energi pasang surut, konversi energi termal lautan, dan energi rumput laut yang dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, BPPT, dan juga PLN; energi laut sebagai salah satu energi bersih yang tidak menghasilkan emisi; dan karakter unik dari energi laut sebagai energi in situ dapat menjadi pengganti energi bahan bakar fosil di area off-grid. 

Sementara itu, tantangannya adalah:

masalah keterbatasan teknologi; masalah skala ekonomi; masalah lingkungan dan sosial.

Berita sebelumyaKuliah ERIA Edisi Khusus tentang “Energi Terbarukan di ASEAN”
Artikulli tjetërMembangun Kemitraan yang Berkelanjutan untuk Mencapai Sustainable Development Goals (SDGs)

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini