Gambar 1 Sesi tanya-jawab dengan Prof. Purnomo Yusgiantoro
Pada Jumat, 4 Mei 2018, Universitas Mataram (Unram) mengadakan diskusi nasional bertajuk “Global Energy Dynamics and National Energy Resilience”. Universitas mengundang Prof. Purnomo Yusgiantoro selaku pendiri dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), mantan Menteri Pertahanan, dan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Dr. Saleh Abdurrahman sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional, Dr. Herman Darnel Ibrahim selaku Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), dan Bapak Susilo selaku perwakilan dari PT PLN turut diundang sebagai pembicara dalam diskusi ini.
Prof. Purnomo Yusgiantoro membuka diskusi dengan memberikan pidato utama mengenai “Global Energy Dynamics and National Energy Resilience.”. Dalam presentasinya, Ia menjelaskan bahwa terdapat dua pandangan mengenai energi. Perspektif pertama melihat energi sebagai suatu objek politik dan keamanan yang berkaitan dengan konflik perbatasan dan politik minyak dan gas. Sedangkan perspektif kedua melihat energi sebagai objek sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan suplai dan kebutuhan, subsidi, lingkungan, dan pengembangan berkelanjutan. Dalam bahasan Global Energy Dynamics, Prof. Purnomo Yusgiantoro menyebutkan bahwa terdapat beberapa pergeseran dari kebutuhan energi, di mana India diharapkan untuk dapat meningkatkan kebutuhan energinya hingga 174% dari tahun 2015-2040. Disamping itu, negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa diperkirakan mengalami pertumbuhan negatif dalam hal kebutuhan energi. Presentasi tersebut juga menunjukkan bahwa bahan bakar fosil diperkirakan masih menjadi sumber energi yang dominan hingga tahun 2040. Perihal Ketahanan Energi Nasional, Prof. Purnomo Yusgiantoro menjelaskan perbedaan istilah yang digunakan Indonesia dengan negara lain. Negara lain cenderung menggunakan istilah “Keamanan” sedangkan Indonesia menggunakan istilah “Ketahanan”. Perbedaan antara istilah ini adalah “Ketahanan” menjelaskan kemampuan untuk merespon perubahan energi dinamis global, sedangkan istilah “Keamanan” cenderung kepada kondisi yang lebih statis. Ia menutup pidatonya dengan menekankan lima aspek yang harus diperhatikan terkait ketahanan energi nasional: ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, penerimaan, dan keberlanjutan.
Dr. Saleh Abdurrahman memberikan pemaparan seputar Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional. Ia menjelaskan bahwa KEN didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 79/2014 dan diturunkan menjadi RUEN. Selanjutnya, RUEN harus diturunkan menjadi Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Namun, penyelesaian RUED di masing-masing daerah tidak berjalan lancar seperti yang diprediksi dan hanya beberapa wilayah yang telah menyelesaikan RUED. Ia juga menyebutkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir tidak termasuk dalam RUED Nusa Tenggara Barat.
Dr. Herman Darnel Ibrahim memaparkan tiga penggerak utama dalam bauran energi. Penggerak-penggerak tersebut adalah (1) Keamanan Suplai; (2) Keekonomisan Suplai; dan (3) Emisi Gas Rumah Kaca yang Rendah. Ketiga aspek ini dapat mempengaruhi keputusan mengenai sumber energi yang harus digunakan oleh masyarakat. Ia juga menyoroti prospek dari pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa pada umumnya biaya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dinilai sangat rendah. Namun, jika kita memasukkan biaya mitigasi bencana nuklir, biaya dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir ini akan menjadi sangat tinggi. Hal ini diperlihatkan dalam Levelized Cost of Energy, dimana nantinya biaya energi nuklir akan meningkat sedangkan biaya dari energi terbarukan lainnya akan menjadi lebih rendah seiring berjalannya waktu.
Pemaparan terakhir disampaikan oleh Bapak Susilo dari PT PLN. Ia menyampaikan pencapaian umum dari PLN di Nusa Tenggara Barat, terutama dalam pengembangan jaringan listrik, rasio elektrifikasi, dan pengembangan energi terbarukan. Secara umum, ia menyebutkan bahwa kapasitas pembangkit listrik terpasang di Nusa Tenggara Barat dapat menerima beban puncak dari jaringan listrik. Namun, PLN masih berencana untuk mengembangkan lebih banyak pembangkit listrik untuk meningkatkan rasio energi per kapita. Dari pengembangan energi terbarukan, sebagian besar sumber energi terbarukan di Nusa Tenggara Barat datang dari Gunung Rinjani dalam bentuk aliran sungai. Sungai-sungai ini dapat dimanfaatkan menjadi pembangkit listrik tenaga air. Total terdapat 11 pembangkit listrik tenaga air dan surya yang beroperasi di Nusa Tenggara Barat dengan kapasitas 14.1 MW. Ia juga menyebutkan bahwa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di Nusa Tenggara Barat, tidak ada pembangkit listrik tenaga nuklir yang akan dibangun dalam keadaan normal. Terkait rasio elektrifikasi, PLN Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa telah tercapai hingga 93.52% rasio elektrifikasi di bulan Mei 2018 dan rencana pengembangan rasio elektrifikasi Nusa Tenggara Barat harus mencapai 100% di tahun 2020.
Untuk menutup diskusi, Prof. Suwardi dari Unram menyoroti pentingnya partisipasi universitas dalam pengembangan energi terbarukan. Ia menjelaskan aktivitas Unram dalam pengembangan energi terbarukan di Nusa Tenggara Barat, termasuk keterlibatan sosial dan pusat sertifikasi kompetensi energi terbarukan. Ia menjelaskan visi Unram untuk menjadi Universitas Ramah Lingkungan dan Pusat Keunggulan terbarukan terdepan di Indonesia.