Gambar 1 Pabrik Biogas di Peternakan Asy-Syafa’at (atas), sistem biogas dan Bioslurry (bawah).

Sebagai salah satu pelopor organisasi pemerintah yang memperkenalkan aplikasi biogas di Indonesia, Yayasan Rumah Energi berkolaborasi dengan PYC untuk meningkatkan pengembangan biogas sebagai bahan bakar memasak. Terdapat sekitar enam belas juta potensi pengguna biogas di Indonesia. Sebagai langkah pertama biogas ditargetkan untuk terpasang pada satu juta pengguna. Namun, dalam Sembilan tahun pengembangan, perluasan dianggap lambat dengan hanya 23.000 unit biogas di sepuluh provinsi yang dapat terpasang. Salah satu permasalahannya adalah biaya pemasangan yang tinggi, yaitu sekitar 10 hingga 15 juta rupiah yang mana biaya tersebut bergantung pada kapasitas penyimpanan dan harga bahan untuk membuat pabrik biogas. Kapasitas terkecil yang paling mungkin dapat dibuat adalah sebesar 2m3 yang membutuhkan sekitar dua sapi atau 300 ayam untuk mengisi penyimpanan limbah setiap harinya. Kapasitas terkecil ini menghasilkan kurang lebih 0.7 m3 biogas atau sekitar 1-1.5 jam memasak dalam satu kompor. Dengan biogas dapat mengisi sekitar 1/3 dari kapasitas penyimpanan maksimum, maka semakin besar kapasitas penyimpanan, biogas yang dihasilkan juga menjadi lebih banyak.

Pada 12 Desember 2018, tim peneliti PYC didampingi oleh tim Yayasan Rumah Energi mengunjungi Peternakan Asy-Syafa’at di Sawangan, Depok yang telah mengaplikasikan biogas untuk kebutuhan sehari-sehari mereka. Biogas ini diberikan oleh pemerintah lokal pada 2004 dan peternakan ini telah menggunakannya sebagai bahan bakar memasak. Dikarenakan peternakan ini mampu menampung sekitar 60 sapi, pemerintah membangun biogas berkapasitas sekitar 12 m3. Dibutuhkan sekitar 2 ton kotoran sapi untuk mengisi penyimpanan biogas pada percobaan pertama, kemudian dibutuhkan tambahan 75 kg kotoran sapi setiap hari. Sangat penting untuk memelihara setidaknya sepuluh sapi di peternakan untuk mengisi penyimpanan biogas agar penyimpanan tersebut dapat tetap terisi pada kapasitas maksimum. Kurangnya suplai kotoran dapat mengeringkan penyimpanan dan merusak keseluruhan sistem biogas. Terdapat satu kejadian dimana penyimpanan tidak terisi selama dua minggu yang menyebabkan biogas habis, oleh karena itu pemilik tersebut harus mengulang proses pemasangan dari pengurasan penyimpanan dan mengisi penyimpanan kosong tersebut dengan dua ton kotoran sapi. Aspek vital lain yang harus diperhatikan adalah perbandingan antara air dan limbah. Penting untuk mengetahui perbandingan yang tepat karena kurangnya air dapat menyebabkan kotoran sapi menjadi mengeras dan sulit untuk diolah.

Memasak dengan biogas membutuhkan kompor khusus karena perbedaan tekanan gas dari LPG pada umumnya. Beberapa tahun silam, harga kompor biogas hampir mencapai empat kali lebih tinggi dari harga kompor biasa karena produsen kompor ini berada di Jawa Timur dan hanya memproduksi dalam jumlah terbatas. Namun, saat ini sebuah inovasi dibuat dengan memodifikasi kompor biasa agar dapat digunakan sebagai kompor biogas. Biogas didistribusikan melalui saluran pipa PVC menuju lokasi kompor yang dapat secara aman mencapai 200 meter dari penggunaan satu kompor. Metode lainnya adalah dengan menggunakan balon penyimpanan atau bagian ban dalam untuk menyimpan biogas di dalamnya agar dapat disimpan dengan mudah atau dibawa.

Kelebihan pengolahan biogas lainnya adalah pemanfaatan residu proses biogas yang disebut dengan bioslurry. Limbah dari penyimpanan biogas akan memproduksi gas metana (CH4) dan lumpur melalui penyerapan anaerobic. Gas metana atau biogas kemudian didistribusikan ke dalam pipa sebagai bahan bakar memasak sedangkan lumpur yang disebut dengan bioslurry dapat digunakan sebagai pupuk. Bioslurry memiliki nutrisi yang bermanfaat untuk tanaman dan terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibandingkan dengan pupuk kandang yang tidak diproses. Dikarenakan Peternakaan Asy-Syafa’at terletak di area perkotaan, sebagian besar pupuk dijual ke para penjual tanaman hias dibandingkan kepada para petani. Namun, bioslurry tetap memberikan nilai tambah bagi kotoran binatang. Pekerja peternakan mengakui bahwa pada awalnya mereka meragukan dan khawatir terhadap produksi biogas. Namun, pembelajaran dan pengalaman yang terus-menerus membuat mereka menyadari bahwa biogas telah membawa manfaat yang besar bagi peternakan. Mereka tidak lagi peduli terhadap harga dan ketersediaan LPG, karena biogas dapat menggantikan LPG sebagai bahan bakar memasak. Dan juga, penjualan bioslurry dapat memberikan pendapatan tambahan. Meskipun biogas di peternakan ini diberikan oleh pemerintah, pemilik peternakan sebenarnya telah berencana untuk membangun biogas sendiri sebelum pemerintah menawarkan hibah. Para pekerja peternakan mengatakan bahwa meskipun pemilik membangun biogas dengan biaya sendiri tanpa bantuan pemerintah, biaya awal yang dibutuhkan untuk membuat biogas ini akan sebanding dengan segala manfaatnya dan mereka merekomendasikan kepada seluruh peternakan untuk membangun biogas juga.

Berita sebelumyaConference of Indonesia and the United States (US) Maritime Cooperation
Artikulli tjetërPYC Memeriahkan Pagelaran Kesenian Nusantara (Performing Arts of Nusantara) di Kedutaan Besar Republik Indonesia, Bangkok

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini