Gambar 1 Bambang Harimurti, Prof. Purnomo Yusgiantoro, Ir. Michael Sumarijanto, Sudirman Said, Febby Tumiwa, dan Prof. Subroto berpose dalam acara Dialog Energi Bersih Indonesia

 

Pada akhir tahun 2018, Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Bimasena, Perkumpulan Pertambangan dan Energi, dalam menyelenggarakan dialog energi bersama para pakar energi Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk mengulas pencapaian energi bersih (terbarukan) di tahun 2018 serta untuk membahas tantangan yang akan dihadapi dan kesempatan untuk mengembangkan energi bersih di Indonesia di tahun 2019. “Dialog Energi Bersih Indonesia: Mengulas 2018, Menatap 2019” diselenggarakan di Bimasena Club Dharmawangsa pada tanggal 19 Desember 2018. Dialog tersebut dihadiri oleh tiga mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, yaitu Prof. Subroto (1978-1988), Prof. Purnomo Yusgiantoro (2000-2009), dan Bapak Sudirman Said (2014-2016). Turut hadir para pakar energi lain seperti Bapak Surya Darma dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI); Bapak Zulfikar Manggau dari PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN); Ibu Kirana D. Sastrawijaya dari UMBRA; dan Ibu Emma Sri Martini dari PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).

Acara tersebut dibuka oleh Bapak Febby Tumiwa selaku Direktur Eksekutif IESR. Ia menyampaikan adanya fase stagnasi pada perkembangan kebijakan energi bersih dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Prof. Subroto selaku pembicara utama. Tujuan dari pembangunan nasional adalah untuk mendirikan  “Indonesia Raya” yang makmur. Namun, bagaimanapun juga, industri 4.0, yang merupakan salah satu aspek pembangunan utama, tidak akan tercapai tanpa revolusi energi yang difokuskan pada energi bersih. Saat ini, sumber energi di dunia masih didominasi oleh bahan bakar fosil yang merupakan penyebab Greenhouse Gases (GHGs) atau efek rumah kaca. Salah satu kandungan terburuk dari GHGs adalah CO2 yang bertanggung jawab terhadap peningkatan suhu global yang akan mengarah pada perubahan iklim. Banyak bencana alam yang terjadi sebagai akibat dari perubahan iklim ini, seperti badai dan topan yang akhir-akhir ini sering melanda Indonesia. Mengutip apa yang diucapkan oleh Prof. Northouse, “Kita perlu mengubah cara kita dalam membangun dunia tempat kita tinggal. Hanya mengetahui saja itu tidak cukup. Kita harus menerapkan apa yang benar dan terbaik bagi masa depan”. 

Pada sesi pertama, Prof. Purnomo Yusgiantoro dan Bapak Sudirman Said menyampaikan pendapat mereka mengenai kondisi energi bersih di Indonesia. Selaku mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, keduanya memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam membela kebijakan energi bersih di level pemerintah. Bapak Bambang Harimurti ditunjuk sebagai moderator. Prof. Purnomo Yusgiantoro menyampaikan sejarah komprehensif dari pembangunan sektor energi di Indonesia selama 40 tahun terakhir. Selama masa pemerintahan orde baru, minyak merupakan komoditas yang paling berharga di Indonesia dan mencapai status Lex Specialist. Minyak telah turut berperan dalam membantu Indonesia bangkit dari krisis ekonomi. Eksploitasi minyak yang dilakukan secara besar-besaran hingga mencapai 1,6 juta barel per hari menghasilkan 80 persen dari total pendapatan ekspor. Selain itu, akibat penurunan harga minyak secara tiba-tiba, Indonesia mengalami Dutch Disease sebanyak dua kali pada tahun 1980-an dan pada awal 1990-an. Dutch Disease melemahkan kesadaran pemerintah akan pentingnya keanekaragaman. Gas alam dan batu bara mulai diproduksi dalam skala besar untuk menggantikan minyak dan mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun, produksi gas alam dan batu bara telah meningkat secara drastis, dari 654 mmscf gas dan 650 ribu ton batu bara di tahun 1980 menjadi lebih dari 1.600 mmsfc gas alam dan 3,09 juta ton batu bara di tahun 1990. Pencapaian lain yang juga didapat di era pemerintahan ini adalah didirikannya pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal energy) pertama di Indonesia di Kamojang pada tahun 1982. Sebetulnya, energi terbarukan telah digunakan di Indonesia sejak lama, seperti biomassa yang pada era BAROKEN digunakan sebanyak lebih dari 70 persen dari sumber energi utama pada sektor rumah tangga melalui pembakaran kayu bakar. Perencanaan energi di masa yang akan datang didasarkan pada KEN, RUED, RUKN, dan RUKD dimana energi terbarukan memegang 23 persen saham campuran energi nasional pada tahun 2025.

Pembicara berikutnya, Bapak Sudirman Said menitik beratkan ketergantungan terhadap impor minyak saat ini yang menyebabkan Indonesia menjadi sangat rawan terhadap krisis moneter dan defisit keseimbangan perdagangan. Investasi energi memiliki dua karakteristik utama; Pertama, investasi energi merupakan investasi skala besar; dan kedua, investasi energi akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap ekonomi lokal dan ekonomi nasional. Bisa dikatakan bahwa energi memberikan ruang terhadap pertumbuhan nasional. Politikus saat ini secara umum hanya terfokus kepada solusi jangka pendek yang hanya akan meningkatkan popularitas mereka, tanpa memikirkan akibat jangka panjang. Kondisi ini mengakibatkan banyak sektor penting seperti sektor energi yang menjadi korban kepentingan politik. Selanjutnya, Bapak Sudirman Said mengatakan bahwa energi seharusnya ditangani oleh teknokrat dan dipisahkan dari kepentingan politik.

Dalam acara dialog ini, tim peneliti IESR juga memberikan presentasi dengan tema “Pandangan terhadap Energi Bersih Indonesia: Mengulas 2018, Menatap 2019”. Dalam laporannya tercatat bahwa tidak ada kemajuan dan pencapaian yang berarti dari kebijakan energi bersih nasional pada tahun 2018. Hal ini terjadi terutama pada karakteristik yang paling penting seperti kualitas kebijakan, konsistensi dalam hal penerapan kebijakan, kapasitas jaringan serta “bankability” dari proyek energi terbarukan. Laporan tersebut juga menunjukan suramnya energi terbarukan nasional, terutama dalam mencapai target campuran energi di tahun 2025. Di tahun 2019, tahun politik dan periode pemilihan umum dapat memperburuk kondisi energi terbarukan sebab masalah tersebut merupakan salah satu topik terpenting yang akan dijadikan senjata untuk menarik peserta pemilu.

Berita sebelumyaWorkshop Aksi Kolaboratif Demi Mencapai Biodiesel Berkelanjutan
Artikulli tjetërForum Guru Besar ITB: Tinjauan Kebijakan Energi di Indonesia

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini