Gambar 1. Diskusi panel pada saat diskusi meja bundar mengenai Prospek Transisi Energi di Sektor Listrik Indonesia yang diselenggarakan oleh IESR dan Climate Transparency
Pada 2 April 2019, Purnomo Yusgiantoro Center menghadiri sebuah diskusi meja bundar berjudul “Prospek Transisi Energi di Sektor Listrik Indonesia” yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Climate Transparency di Jakarta. Acara tersebut membahas sebuah topik menarik mengenai bagaimana Indonesia dapat beralih ke sektor listrik yang lebih bersih dan berkelanjutan. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, membuka sesi tersebut dengan menyoroti kemungkinan penetrasi energi terbarukan sebesar 43% di sistem Jawa-Bali dan Sumatra, sebagaimana dinyatakan dalam studi terbaru oleh IESR yang berjudul “A Roadmap for Indonesia’s Power Sector: How Renewable Energy Can Power Java-Bali and Sumatra”.
Pembicara selanjutnya Dr. Ursula F. Hutfilter dari Climate Analytic menekankan kemajuan berbagai negara dalam mengurangi dampak perubahan iklim, khususnya pada sektor listrik. Dia menyebutkan beberapa negara seperti Afrika Selatan, Jerman, dan Chili berencana untuk mengakhiri peralihan dari batubara. Di sisi lain, negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, India, dan Vietnam, masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga batubara. Bahkan kapasitasnya direncanakan untuk meningkat di waktu yang akan datang. Pembicara ketiga, yaitu Alvin Lin dari Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam Cina, menjelaskan kebijakan Cina untuk benar-benar meningkatkan kapasitas energi terbarukan di negara tersebut, termasuk energi intermiten seperti energi matahari dan angin. Dia menyebutkan bahwa Cina saat ini sedang beralih dari sistem feed-in tariff menjadi standar portofolio terbarukan dan sistem lelang akibat pengurangan biaya tenaga angin dan matahari.
Selanjutnya, Bryce McCall dari Pusat Penelitian Energi University of Cape Town menggarisbawahi kesalahan pengelolaan dalam bisnis batubara di Afrika Selatan yang mendorong biaya energi terbarukan menjadi lebih kompetitif. Ia juga menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk para pekerja yang terdampak peralihan batubara. Pembicara berikutnya, Hannah Schindler dari Climate Transparency, berbagi pengalaman mengenai transisi energi bersih negara Jerman. Dia menekankan pentingnya pendekatan multi-stakeholder dan mandat yang jelas dari pemerintah untuk keberhasilan pelaksanaan transisi energi.
Acara berlanjut dengan diskusi panel bersama Afrizal (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral), Dr. Alin Halimatussadiah (Universitas Indonesia), Dr. Widhyawan Prawiraatmadja (Indonesian Clean Energy Forum), dan Tata Mustasya (Greenpeace Asia Tenggara) sebagai pembahas. Diskusi ini membahas komitmen pemerintah untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 23% di tahun 2025 dan tantangan-tantangan untuk mencapai target tersebut. Biaya eksternal energi fosil harus mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia mengingat dampak lingkungan dari energi fosil. Sementara itu, pengembangan infrastruktur gas alam juga penting dikarenakan peran gas alam sebagai energi transisi.