Gambar 1 Didampingi oleh Ibu Filda Yusgiantoro, Ph.D. (Pimpinan dari PYC), Professor Purnomo Yusgiantoro hadir sebagai pembicara undangan di Pusat Analisis Anggaran, Badan Keahlian DPR RI
Kebutuhan Format Ideal untuk Pengelolaan yang Efektif pada Pembelanjaan Subsidi di Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Pada tanggal 15 Agustus 2017, Profesor Purnomo Yusgiantoro, pendiri PurnomoYusgiantoro Center (PYC), sebagai pembicara ahli, memberikan pemaparan dengan topik subsidi energi dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis Anggaran Badan Keahlian DPR RI. Acara ini merupakan tanggapan dari undangan Pusat Analisis Anggaran dengan pelaksanaan bertempat di Gedung Sekjen DPR RI (Jakarta).
Dalam diskusi tersebut, Profesor Purnomo menyampaikan tentang efektivitas program subsidi energid yang meliputi solar, elpiji, dan penyediaan listrik. Ia menyatakan, format subsidi energi bisa tidak efektif jika muncul tiga faktor berikut: (1) porsi belanja subsidi energi yang relatif besar di APBN, (2) penggunaan yang tidak akurat dari komoditas energi bersubsidi, dan (3) kecenderungan yang mengkhawatirkan dari kenaikan indeks GINI di negara tersebut.
Gambar 2 Profesor Purnomo Yusgiantoro menyampaikan pemaparan di depan peserta dari Pusat Analisis Anggaran Badan Keahlian DPR RI
Prof. Purnomo memaparkan kronologis kejadian munculnya program subsidi energi. Pada pertengahan tahun 1960 hingga 1999 produksi migas berlangsung luar biasa besar. Pendapatan yang dihasilkan dari sektor tersebut memainkan peranan utama dalam meningkatkan perekonomian negara yang jauh melebihi anggaran subsidi pada saat itu. Sejak tahun 1999 dan seterusnya, kecenderungannya berubah arah karena produksi minyak dan gas yang terus menurun dan ketergantungan pada diversifikasi ekonomi pada sektor itu tidak lagi signifikan. Hal ini mengarah pada program penghapusan biaya subsidi secara bertahap pada beberapa tahun berikutnya.
Prof. Purnomo menyoroti beberapa masalah dalam pengelolaan subsidi energi. Salah satu yang paling menonjol adalah jenis persepsi terhadap definisi subsidi itu sendiri yang masih membingungkan dalam membedakan antara biaya subsidi dan subsidi langsung. Koordinasi dan sinkronisasi dari daftar penerima subsidi menjadi tantangan bagi pengelolaan subsidi yang efektif di sektor energi.
Prof. Purnomo mengajukan beberapa solusi atas kerumitan subsidi energi. Pertama, ia mendorong pengembangan cetak biru dalam menggeser subsidi biaya ke subsidi langsung untuk kasus bahan energi. Kedua, variasi pendapatan daerah dan daya beli dapat menjadi dasar untuk mengkonfigurasi skema harga yang berbeda untuk setiap daerah (misalnya Jawa versus daerah lain) untuk mengurangi subsidi energi. Pembentukan tarif listrik daerah seperti yang diterapkan di Batam juga dapat diterapkan di daerah lain di Indonesia melalui mekanisme subsidi silang. Ketiga, substitusi dapat menjadi jawaban atas subsidi elpiji dan solar, seperti keberhasilan penerapan Pertalite (Ron-90) secara perlahan menggantikan Premium (Ron-88) di daerah dengan jumlah konsumen yang banyak seperti Jawa, Madura, Bali, dan beberapa ibu kota provinsi lainnya.