Gambar 1 Dr. Rudolf Rauch, Director Renewable Energy Program GIZ Indonesia, memberikan sambutan.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (DJEBTKE) bekerjasama dengan Electrification Through Renewable Energy (ELREN) – GIZ mengadakan sebuah workshop pada 9 Oktober 2018 di Double Tree by Hilton, Jakarta. Workshop ini bertujuan untuk membangun sebuah tim Sustainable Off-Grid Rural Electrification yang terdiri dari beragam latar belakang seperti pemegang saham dari berbagai kementrian, pengusaha, LSM, serta masyarakat lokal. DJEBTKE berencana menjadikan workshop ini sebagai basis dari rangkaian lainnya untuk mempercepat pengembangan elektrifikasi off-grid. Setidaknya akan ada tiga workshop lagi setelah acara pertama yang bertajuk “Coordination Forum for Sustainable Off-Grid Rural Electrification.” Tiga acara berikutnya akan membahas topik mengenai, “Rural Economic Development Through Mini-Grids”, “Optimizing System Life-Time”, dan yang terakhir adalah “Women and Inclusiveness of the Minority in Off-Grid Electrification.”
Workshop dibuka oleh Dr. Rudolf Rauch selaku Director Renewable Energy Program GIZ Indonesia. Ia mengapresiasi kerja keras pemerintah Indonesia dalam upaya penyediaan listrik di pedesaan. Meskipun masih ada beberapa desa yang belum terjangkau elektrifikasi dan juga beberapa gangguan sistem, luasnya Indonesia dengan keunikan geografi sebagai negara kepulauan terbesar, menjadikan 98 persen elektrifikasi sebagai prestasi yang membanggakan. Bahkan saat ini masih banyak negara yang elektrifikasinya jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia. Beberapa kisah sukses elektrifikasi pedesaan dipresentasikan dalam workshop ini oleh masyarakat lokal yang memelihara dan mengoperasikan sendiri pembangkit listrik tersebut.
Setelah Dr. Rudolf Rauch meninggalkan podium, pembawa acara mempersilahkan Bapak Haris selaku Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan untuk menyampaikan pidato mengenai pencapaian dan komitmen pemerintah di masa yang akan datang dalam mengembangkan elektrifikasi off-grid. Bapak Harris menyatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan di area off-grid terutama yang menggunakan tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mini hidro (PLTMh). Pada tahun 2017, terdapat lebih dari 700 proyek PLTMh di pedesaan. Hingga saat ini, energi terbarukan menyumbang 8,4 persen dari total elektrifikasi nasional. Ada empat aspek utama dalam pengembangan energi terbarukan untuk elektrifikasi pedesaan: (1) Aspek pemeliharaan; (2) Aspek teknis; (3) Aspek keuangan; dan terakhir (4) Prospek usaha. Bapak Harris berharap workshop ini menjadi langkah awal untuk mengupayakan elektrifikasi off-grid yang berkelanjutan sehingga 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional 2025 dapat tercapai.
Setelah sesi pembukaan, Ibu Marice Hutapea, mantan Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, memandu sesi panel sebagai moderator. Ia mempersilakan lima pembicara ke panggung; yakni (1) Bapak Ramsyah selaku perwakilan dari pengelola PLTS komunal di Kutai, Kalimantan Timur. Ia dan beberapa tetangganya menjalankan bisnis masyarakat lokal bernama BUMDes Bersinar Desaku memelihara captive power dari panel surya untuk menyediakan listrik bagi desa mereka. Desanya dikelilingi oleh dua buah danau. Saat musim hujan tiba, 80 persen desanya kerap tergenang air danau. Itulah sebabnya sebagian besar rumah yang ada di desa ini adalah rumah panggung dan rumah apung. Kondisi ini pula yang menjadi alasan mengapa 27 dari 237 desa di Kutai masih jauh dari jaringan listrik dan belum teraliri listrik. Saat ini, pembangkit listrik mini grid dengan kapasitas 30 kWp tersebut memasok listrik untuk 168 rumah dan fasilitas umum selama 24 jam. Kehadiran listrik di desa pasti menimbulkan banyak efek pengganda (multiplier) di seluruh desa. Dengan tarif listrik yang hanya berkisar Rp 3.000 per hari, listrik telah mendorong bisnis lokal seperti bengkel moulding, rumah walet, penggilingan ikan, dan pengolahan makanan ikan. Pembicara berikutnya adalah (2) Bapak Andar sebagai perwakilan PLTMh komunal yang bernama KSU Puncak Ngengas di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Serupa dengan cerita Bapak Ramsyah, pedesaan tempat Bapak Andar tinggal dianggap sebagai off-grid yang mengarah pada kurangnya infrastruktur seperti listrik. Pada tahun 2009, PLTMh pertama dibangun dengan total kapasitas 25kW; Selanjutnya pada tahun 2013 dibangun PLTMh kedua dengan kapasitas lebih besar, sekitar 40 kW. Kedua pembangkit listrik terbarukan ini menyediakan listrik untuk 221 rumah dengan masing-masing rumah mendapat jatah sekitar 150 watt. Adanya listrik di Desa Ngengas juga menimbulkan efek pengganda (multiplier) terutama dalam hal produktivitas desa. Penduduk desa kini dapat mengolah kopi mereka dan meningkatkan nilai tambahnya dari Rp 20.000 per kg menjadi Rp 45.000 per kg.
Selain masyarakat lokal, terdapat pula pembicara dari perusahaan swasta dan LSM yang berpartisipasi dalam mengembangkan energi terbarukan di area off-grid. Pembicara ketiga (3) yakni Mr. Askha Kusuma Putra dari Akuo Energy. Akuo Energy adalah perusahaan Perancis yang berfokus pada pengembangan beragam sumber daya energi terbarukan skala medium-besar. Salah satu proyek pertama mereka di Indonesia adalah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya di Berau sebagai kerjasama Akuo Energy, tiga Special Purpose Company (SPC) dan BUMDes. SPC menjadi pemilik proyek dan bertanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan proyek. Listrik yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya dalam proyek ini ditetapkan dengan tarif yang sama dengan tarif listrik nasional. Tiga hal penting yang berdampak signifikan pada Proyek PLTS Berau: pertama, ketersediaan gap fund yang mencakup 96 persen dari modal; kedua, dukungan dari masyarakat setempat; dan terakhir, daya saing tarif listrik. Salah satu masalah yang ia sadari adalah pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 38 Tahun 2016 memiliki kekurangan dalam hal pengajuan proyek yakni terbatas pada kecamatan, sedangkan beberapa desa yang tidak memiliki akses listrik dapat terletak jauh dari desa lain yang berada dalam kecamatan yang sama. Pembicara keempat (4) datang jauh dari Pulau Sumba untuk berargumentasi perihal peran minoritas perempuan di sektor kelistrikan off-grid. Mereka adalah Ibu Trouce Landaruka dari Yayasan Peduli Kasih dan Ibu Jeti Arlenda sebagai satu-satunya teknisi senior perempuan di Perusahaan Tenaga Surya Sumba. Di Sumba, banyak perempuan yang tidak memiliki pendidikan layak dibandingkan laki-laki. Peran perempuan juga seringkali terbatas pada tugas rumah tangga. Namun, seringkali orang melewatkan fakta bahwa perempuan Sumba adalah orang yang lebih memperhatikan sumber energi di rumah mereka seperti kayu bakar, minyak tanah, dan juga listrik. Selain itu, mahalnya biaya sertifikasi dan minimnya lembaga pelatihan di daerah membuat perempuan semakin sulit untuk berperan lebih jauh dalam pengembangan elektrifikasi off-grid. Pembicara terakhir (5) yakni Bapak Rosman; ia bekerja di Prowater Multi Teknik, perusahaan swasta yang diprakarsai oleh beberapa pegawai negeri sebagai wujud dari ambisi mereka untuk menyediakan layanan pembangkit listrik tenaga mini hidro yang terjangkau. Hingga saat ini, mereka telah membangun 130 turbin dan turbin tetap untuk masyarakat sekitar dengan harga terjangkau sebagai bagian dari layanan sosial mereka. Meski diakuinya bahwa perusahaan mengalami krisis finansial akibat banyaknya tunggakan pembayaran, para pendiri yakin bisnis ini akan bertahan dan akan terus membantu masyarakat sekitar.