Photo by Nicola Pavan on Unsplash

By: Vivi Fitriyanti, Vivid Amalia Khusna

Tren konsumsi baja secara global nyaris tidak mengenal turun. Bahkan pada 2050, angka permintaan keduanya diprediksi bakal naik hingga 30%. Pada akhirnya kenaikan konsumsi ini akan berdampak pada degradasi lingkungan khususnya emisi gas rumah kaca.

Pada 2019 saja sektor besi dan baja secara langsung menyumbang 2,6 gigaton emisi karbon dioksida setiap tahunnya. Angka ini bisa akan terus naik jika konsumsi baja juga meningkat.

Oleh sebab itu, berbagai inovasi teknologi dilakukan untuk menggantikan baja menjadi ramah lingkungan. Pada dekade 1960-an, para ilmuwan mengenalkan serat karbon sebagai pengganti baja di industri otomotif dan pesawat terbang. Namun serat karbon ini tak cukup ramah lingkungan karena berasal material poliakrilonitril (PAN), hasil pengolahan minyak bumi.

Usaha mengurangi pemakaian minyak bumi kemudian membuat ilmuwan kemudian melirik penggunaan lignin sebagai bahan potensial pengganti PAN. Harapannya, penggunaan lignin untuk serat karbon pengganti baja lebih ramah lingkungan.

Lignin merupakan salah satu elemen yang menyebabkan kayu pada tumbuhan menjadi keras. Di sektor industri, khususnya di industri kertas, lignin harus dihilangkan karena dapat memengaruhi kualitas kertas. Akibatnya banyak lignin yang tidak terpakai. Padahal, lignin sendiri memiliki sejumlah manfaat di sektor industri.

Apa itu Lignin?

Lignin merupakan sampah dari produksi kertas dan etanol. Industri kertas, bubur kertas, kayu, dan etanol menghasilkan lebih dari 50 juta ton lignin per tahun. Angkanya juga diprediksi bakal naik hingga 225 juta ton per tahun pada 2030.

Kebanyakan lignin hanya digunakan sebagai bahan bakar berkualitas rendah untuk membangkitkan listrik sehingga masih berkontribusi menghasilkan emisi gas rumah kaca. Sisanya, sekitar 2%, dimanfaatkan industri untuk bahan baku pembuatan material perekat ataupun bahan kimia lainnya.

Bagaimana lignin dimanfaatkan?

Karena sifatnya yang keras, upaya memisahkan lignin material tumbuhan membutuhkan proses pelarutan. Sementara, pemakaian pelarut ini membuat proses pembuatan lignin cukup mahal sehingga tidak ekonomis untuk menggantikan baja.

Riset saya bersama kolega mencoba menganalisis proses pelarutan lignin dengan pelarut yang tidak menguap atau disebut dengan cairan ionik alias garam cair.

Hasilnya, saya menemukan proses pelarutan dan pemisahan ini menggunakan bahan yang murah, peralatan lebih sedikit, dan dengan tahapan lebih singkat. Akhirnya, biaya produksi lignin bisa lebih murah.

Biaya yang lebih hemat salah satunya ditunjang dengan ongkos bahan baku cairan ionik sebesar US$1,24 (Rp19 ribu) per kilogram. Sebagai perbandingan, biaya cairan pelarut dimetil sulfoksida (DMSE) untuk memproduksi serat karbon minyak bumi sebesar US$3 (Rp46 ribu) per kilogram.

Temuan saya juga diperkuat riset yang menyatakan bahwa proses pelarutan dengan cairan ionik dapat mempertahankan lebih banyak kandungan karbon dalam lignin. Semakin banyak kandungan karbonnya, maka serat karbon dari lignin akan semakin kuat.

Langkah selanjutnya

Sejumlah penelitian–termasuk yang saya lakukan–menemukan lignin potensial untuk menjadi bahan baku serat karbon ramah lingkungan. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap baja.

Walau begitu, masih ada pekerjaan yang perlu dilakukan seperti menyiapkan pasar dari hulu ke hilir. Di tingkat hulu, industri kertas ataupun pertanian dapat menyiapkan strategi pemanfaatan lignin agar tidak berakhir menjadi bahan bakar.

Strategi ini juga termasuk kemitraan mereka dengan industri pengolah lignin, yang sejauh ini masih sangat jarang di Indonesia bahkan dunia. Pihak industri dapat bermitra dengan lembaga penelitian untuk mencari teknologi pengolahan lignin terbaik karena sejauh ini tingkat kesiapan teknologi terkait hal ini masih rendah.

Pemerintah Indonesia juga perlu mencari cara-cara pemanfaatan sumber daya berbasis tumbuhan atau biomassa untuk pembangunan ramah lingkungan. Usaha ini penting karena pemerintah juga berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sektor pertanian dan industri untuk meredam perubahan iklim.

Sejauh ini, pemerintah masih memanfaatkan biomassa kayu hanya untuk kebutuhan bahan bakar pengganti batu bara (co-firing). Pemanfaatan biomassa kayu lewat lignin dapat meningkatkan pemanfaatan sumber daya tumbuhan kita yang minim emisi, sekaligus mengurangi kebutuhan Indonesia terhadap sumber daya fosil.

The opinion has been published on The Conversation.
Check the original article by clicking on this text.

Previous articleIndonesia Needs a Better Power Network For Itself and ASEAN
Next articlePYC International Energy Conference 2023 “Collaboration in Action for Inclusive Energy Roadmap”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here